“yaaaah” ucapku bersamaan dengan
buku-buku yang ku bawa jatuh berserakan. Baru saja ada seseorang yang
menabrakku membuat semua buku-buku ku jatuh. Aku mengomel dalam hati, wajahku
masam menunduk membereskan buku di lantai. Aku malu karena pasti seluruh orang
yang ada di perpustakaan daerah ini menatapku. Orang yang menabrakku masih
berdiri di depanku, aku melihat sepatunya masih ada persis didepanku, entah apa
yang dia tunggu. Tak lama aku melihat tangan orang lain menyentuh buku-buku ku,
membantu mengambilnya. Aku masih enggan menoleh. Setelah semua buku ku
bereskan, aku bangkit. Dia yang menabrak ku pun bangkit. Setelah berdiri dia
menyerahkan buku ku yang dia bereskan tadi. Aku mengambilnya lalu menatap
wajahnya. Aku terdiam.
Dia, orang yang menabrakku
tersenyum. Tidak ada yang berubah dari senyumnya. Hanya saja kini tubuhnya
lebih berisi tidak seperti dulu. Berbadan kurus, tinggi seperti tiang
menjulang. Dia seseorang di masa laluku, Dio namanya. “hai, lama tidak bertemu.
Apa kabarmu Mei?” ucapnya. Aku masih terdiam, dia masih memandangku. “Baik”
jawabku singkat setelah tersadar dari keterkejutan. “Aku permisi dulu” ucapku
sambil mengangkat buku-buku yang ku bawa memberi isyarat bahwa ada tugas yang
harus ku selesaikan. Lalu aku pergi, mencari meja yang kosong agar aku nyaman
mengerjakan tugas kuliah.
Setengah jam berlalu dari
kejadian tadi. Seseorang datang dan menarik kursi dihadapanku lalu duduk. Aku
terhenti dari kesibukanku menekan tuts
keyboard laptopku, mengangkat wajah. Alamak! Untuk apa dia mendatangiku lagi.
Ya, kini Dio tengah duduk di hadapanku lengkap dengan senyumannya yang terarah
padaku. Aku membalas kikuk.
10 tahun lalu. Ketika aku mulai
melewati fase pubertas dan mulai mengenal lawan jenis. Dia laki-laki pertama
yang menempati hatiku. Awalnya kami teman baik namun, karena sesuatu dan lain
hal-akupun tak tau apa itu. Dia meninggalkanku. Aku merasa kehilangan dan baru
menyadari bahwa aku membutuhkannya. Tapi, itu cerita lalu. Telah lama sekali
terlewati. Pernah ketika kelas 2 SMA kami bertemu kembali disalah satu acara
seminar. Tidak ada perubahan, kami tetap tidak saling tegur sapa. Pura-pura tak
mengenal satu sama lain. Seperti orang bodoh memang.
Perasaan yang pernah ku miliki
untuknya dulu telah lama menguap beriring jalannya waktu. Aku lelah
mengenangnya. Tapi, kini di saat aku tidak ingin bertemu dengan masa lalu.
Takdir membawaku bertemu dengannya. Kali ini dengan cara yang benar-benar
berbeda dan dia mendatangiku bahkan menyapaku.
Dia masih duduk didepanku meski
aku telah berkata “Maaf tugasku belum selesai. Aku tidak bisa menemanimu
mengobrol”. Dan di luar dugaan dia berkata “Tidak apa-apa. Aku akan menunggu.
Ini kesempatan. Aku ingin membicarakan banyak hal denganmu”.
Satu jam ku biarkan dia menunggu.
Dia tetap sabar menatapku mengerjakan tugas kuliah sambil sesekali bertanya ini
itu yang ku jawab dengan singkat. Dia tidak menyerah. Entah apa yang dia
inginkan. Akhirnya mau tidak mau ketika aku telah selesai mengerjakan tugas,
aku benar-benar harus berbasa-basi dengannya.
“Sudah” tanyanya ketika melihat
laptopku ku matikan. Aku mengangguk. “Lama juga kamu buat aku menunggu. Tidak
disengaja bukan?”tanyanya lagi sambil tertawa. Menyindirku sepertinya. Aku
tersenyum tipis.
“Kuliah jurusan apa sih?” ujarnya
membuka percakapan panjang ini
“Kedokteran”
“Benarkah? Kamu hebat. Dari dulu
aku sudah tau bahwa kamu hebat”. Dia tersenyum. Aku tersenyum tipis
membalasnya.
“Teganya tidak bertanya mengenai
aku”. Dia bergurau.
Aku tertawa kecil “Emang kamu
sibuk apa?”. Akhirnya aku bertanya juga.
“Aku kuliah. Jurusan tekhnik
mesin. Kuliah sambil mengelola bengkel juga”
Aku manggut-manggut mendengarnya.
Dia tertawa melihat tingkahku. “sudah pukul 12 siang. Mau tidak pergi makan
siang bersama?” ajaknya.
Aku sedikit terkejut tapi,
yasudahlah aku mengiyakan. Kami pun keluar meninggalkan perpustakaan daerah
bersama. Menuju tempat makan yang dia pilih. Kebetulan aku tidak membawa
kendaraan tadi ketika ke sini aku di antar oleh kakak.
Di tempat makan kami kembali
duduk berhadapan. Aku lebih banyak diam, dia mendominasi percakapan. Hingga
akhirnya dia membahas masa lalu itu.
“Maafkan aku. Aku dulu bertindak
bodoh dengan duluan menjauhimu hingga hubungan pertemanan kita yang dulunya
baik menjadi buruk. Bahkan ketika bertemu denganmu di acara seminar itu aku
pura-pura tidak mengenalmu. Jujur saja aku malu bertemu denganmu”. Ucapnya
datar.
Aku tersenyum tipis “Tidak
apa-apa” jawabku.
“Lalu bagaimana kamu sekarang?
Adakah seseorang di sisimu?” tanyanya langsung tanpa basa-basi. Tanpa ragu dan tanpa
memikirkan bahwa kami baru saja bertemu.
“a-aku masih sendiri. Kuliahku
sibuk. Aku akan cuek dengan pasanganku dan pasti tidak akan ada yang betah
pacaran denganku” jawabku asal.
Dia tertawa “benarkah?” katanya.
“kalau begitu, bisakah aku meminta untuk terus berada disisimu?”
“Oh Tuhan mengapa secepat ini”
ucapku dalam hati.
Dia masih menatapku. Aku
menghembuskan nafas dalam lalu berkata “apa kamu tidak merasa ini terlalu cepat
dan kamu terlalu jujur. Ku akui dulu, 10 tahun lalu aku menyimpan perasaan
khusus padamu. Kamu orang pertama yang menempati hatiku”. Dia tersenyum
mendengarnya. “dan juga orang pertama yang menggoreskan luka di hatiku”.
Ekspresi wajahnya berubah. Aku tersenyum melihatnya.
“kau tau. Aku seperti orang gila.
Maklumlah baru pertama kali merasakan menyukai seseorang dan langsung merasakan
patah hati juga” ujarku tertawa. Aku sudah mulai rileks menghadapinya.
“Maafkan aku” ujarnya lirih.
Aku menggeleng “Tidak apa-apa.
Itu masa lalu. Semua sudah berlalu 10 tahun Dio. Perasaan yang dulu itu sudah
menguap meski belum terlupakan semuanya masih menyisakan serpihan-serpihan
kecil dihatiku. Hati tak akan pernah amnesia karena hati selalu menyimpan hal
bahagia dan juga hal yang amat mengecewakan. Itu yang ku tau”
“dan kini. Ketika kita baru
bertemu. Baru memperbaiki hubungan. Kamu langsung membicarakan mengenai
perasaan. Jujur saja, aku bingung harus bagaimana. Antara percaya dan tidak”
lanjutku sambil tertawa.
“aku tidak bercanda” ucapnya.
Tawaku terhenti.
“aku sungguh-sungguh. Kau pikir
aku tidak merasakan hal yang sama. Dulu aku pun sama sepertimu. Namun dulu aku
masih terlalu bodoh. Membohongi perasaan sendiri dan melukai perasaanmu dan
perasaanku. Membuatnya menjadi rumit. Tapi, kini aku tidak ingin melepasmu
untuk kedua kalinya” kata-katanya tegas. Meyakinkan.
Aku tersenyum lau berkata
“sudahlah. Kita lupakan masa lalu. Kini kita baru bertemu. Kita baru
memperbaiki hubungan kita yang buruk beberapa tahun lalu. Tidak usah
terburu-buru. Kita ikuti saja kemana takdir akan membawa kita. Kita jalani
hidup ini sesuai alirannya. Kau tau? Kini aku menyadari satu hal. Dulu ketika
aku sangat menyukaimu dan sangat ingin memilikmu tetapi, takdir berkata lain
dan sekarang ketika semua itu sudah mulai terlupakan. Kita bertemu lalu kau
mengungkapkan segalanya. Aku jadi mengerti akan satu hal, bahwa jika memang
kamu bukan untukku maka mau aku mengejarmu sampai ke ujung dunia pun takdir
tetap tidak akan menyatukan kita. Tapi, jika kamu memang untukku mau aku
menghindarimu hingga aku bersembunyi dibelahan dunia terpencil sekalipun, jika
kamu memang untukku maka takdir akan menyatukan kita. Jadi kini tidak usahlah
kita risau dengan perasaan kita. Biarlah takdir menjawabnya”.
Dia tersenyum, mengangguk lalu
berkata “iya kau benar Mei. Aku semakin mengagumimu”.
***
Siang itu adalah siang yang
sangat berbeda dalam hidup Mei. Semuanya telah terjawab. Sakit hati itu tidak
sia-sia. Sepertinya kebahagiaan akan selalu menyelimuti hidup Mei setelah ini.
Tentang Dio, dia serahkan semua pada takdir. Ternyata selama apapun kamu tidak
bertemu dengan seseorang yang pernah sangat berarti dalam hidupmu dan ketika
kamu bertemu dengannya hatimu benar-benar tidak akan pernah amnesia.
3 komentar:
ceritanya bagus :) keep writing :D
makasih yaaaa :)
bagus....
jodoh emag gak kemana
Posting Komentar