Alam Jingga
Senja kali ini terlihat lebih indah meskipun guratan orangenya tak ada yang berubah. Senja selalu memberi kesan tersendiri bagi pencinta senja. Karena disana tersirat kembali betapa indahnya Allah menciptakan segala yang ada di langit dan bumi ini. Meski senja sering kali di ibaratkan sebuah kesedihan, kesepian dan menyimpan begitu banyak rasa yang hanya dapat dibagi bersama senja.
Seperti Jingga yang sempat menitipkan rasa cintanya pada Alam kepada senja. Mengagumi Alam dalam diamnya. Mengagumi ibarat senja yang hanya dapat dilihat dalam diam. Walau hati selalu membisikkan harapan, namun akan tetap selalu seperti senja karena senja terlalu maya untuk disentuh dalam nyata.
Namun kini semua telah berbeda, 1 tahun telah berlalu sejak ikrar suci itu di ucapkan. Ijab itu dilakukan. Alam tak lagi berupa senja yang maya, kini Jingga dapat memilikinya, seutuhnya. Dapat mencintai Alam karena Ridho-NYA. Karena ternyata Allah tidak akan membiarkan jingga hanya dapat menitipkan rasa cintanya kepada senja.
Kala itu adalah tahun pertama Jingga didunia perkuliahan. Waktu itu LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di kampus Jingga sedang memperingati pekan Muharram. Beberapa lomba pun di adakan seperti lomba baca puisi islami, menulis cerpen, nasyid, pidato, musikalisasi asmaul husna, dan lain sebagainya. Namun Jingga bukanlah seseorang yang percaya diri untuk tampil di depan umum, hingga ia hanya ikut menonton saja tidak berpartisipasi langsung mengikuti lomba-lomba yang di adakan.
Ketika tim nasyid Biru Langit tampil, Jingga menikmati penampilan mereka dan matanya menangkap sosok seseorang yang membuat matanya terpaku memandang. Matanya bagi Jingga memberi keteduhan. Ternyata tanpa sengaja seseorang itu pun menatap Jingga dan mata mereka bertemu, dia tersenyum, Jingga hanya membalas dengan senyuman tipis. Sejak saat itu jika Jingga tidak sengaja menangkap sosoknya, Jingga hanya dapat diam memperhatikannya. Makin lama tatapan itu melekat dihati Jingga hingga membekas menjadi sebuah kekaguman.
Dengan berjalannya waktu, dengan sendirinya Jingga mengetahui bahwa si pemilik tatapan teduh itu bernama Alam ketua LDK kampusnya. Seseorang yang berkewibawaan, santun, dan memiliki pancaran karisma yang tak biasa. Banyak akhwat yang mengaguminya. Bahkan mungkin ada yang terang-terangan memperlihatkan bahwa dia menyukai Alam. Namun, karena Alam selalu bersikap baik dan perhatian pada semua orang tak mudah untuk mengetahui siapa yang diam-diam ia sukai.
Bagi Jingga ia tak memiliki keberanian untuk lebih dari mengagumi seorang Alam. Karena ia merasa semua itu tak mungkin. Ibarat ilalang yang hanya dapat menatap senja dari tempatnya berada. Meski bila ia dan Alam berpapasan, Alam selalu tersenyum padanya dan mengangguk kecil isyarat untuk menegurnya. Namun, Jingga tak berani untuk mengartikan semuanya. Takut bila angannya lebih tinggi dari kenyataan yang ada hingga semua hanya menjadi mimpi untuknya.
“Senja… mengapa kau hadirkan dia dalam hidupku. Indah memang ku rasa namun ku takut ia sepertimu yang hanya dapat ku lihat sekejap saja” keluh Jingga dalam hatinya.
Sejak mengenal Alam, hati Jingga terasa goyah, bimbang. Serasa logika tak lagi ada. Namun, Jingga selalu mengingatkan hatinya bahwa dia tak boleh berpaling dari Sang Pemilik Hati. Biarlah Allah yang menjawab apakah Alam akan melengkapi hatinya ataukah tidak. Semua ia coba ikhlaskan pada takdir-NYA. Yakin bahwa semua akan berakhir indah.
Namun, inilah kehidupan. Kita tak pernah tau apa yang terjadi nanti. Bisa jadi saat ini kita merasa bahagia tapi, 5 menit berikutnya kebahagiaan itu berubah menjadi duka. Semua adalah rahasia-NYA. Ketika Jingga sedang duduk menikmati angin yang berhembus di taman kampusnya, dia melihat Alam sedang berjalan beriringan bersama seorang wanita. Meski mereka tak terlalu dekat namun, mereka terlihat akrab dan… cocok!
Deg… kata-kata terakhir itu menohok perasaan Jingga. “mengapa sebelumnya aku tak pernah memikirkan itu” katanya dalam hati. Aku hanyalah seorang biasa yang mungkin tak istimewa. Aku memang mengerti agama ku bagimana. Segala batasan-batasan dan aturan-aturan dalam Islam aku mengerti. Jilbab ku kenakan meski tak selebar jilbab para akhwat LDK. Aku hanya seorang biasa, membayangkan diriku seperti mawar berduri pun aku tak berani. Mawar berduri yang selalu di sebut-sebut mengibaratkan wanita muslimah. Aku memang selalu mencoba untuk menjadi lebih baik lagi. Tapi, aku selalu tak pernah merasa bahwa aku baik. Ah Jingga kau sangat berbeda dengan Alam.
Tatapan Jingga masih belum beralih dari Alam dan wanita yang berjalan bersamanya itu. Wanita itu memiliki karisma yang hampir sama dengan Alam, jika orang melihatnya orang akan langsung menyukainya. Wajahnya penuh keteduhan memberikan rasa nyaman. “Dia terlihat anggun” gumam Jingga. Lama Jingga menatap mereka berdua dan tak sengaja tatapan Alam menuju ke arahnya, Alam pun tersenyum padanya tapi, Jingga hanya diam ditempatnya. Wanita itu pun menoleh melihat Jingga lalu tersenyum pada Jingga, Jingga membalas senyumnya. “Allah indahnya senyum itu” ucapnya dalam hati.
Namun, sebaik apa pun penilaian manusia tetap hanya Allah yang memiliki hak untuk menilai mana yang lebih baik bagimu. Karena apa yang menurutmu baik bagimu belum tentu baik menurut Allah dan apa yang menurutmu buruk bagimu belum tentu buruk menurut Allah.
Rasa kekaguman itu selalu menemani hari-hari Jingga. Memberinya kekuatan tersendiri untuk tetap menyimpan semuanya dalam hatinya. Dalam diamnya. Hingga tanpa ia sadari waktu membawanya pada ujung kisahnya di bangku perkuliahan. Tanpa terasa kini Jingga telah berada disemester akhir kuliahnya. Kini dia sedang sibung menyusun KTI sebagai persyaratan kelulusannya dan beberapa bulan lagi ujian-ujian dan siding KTI akan ia lalui. Begitu pula Alam, sedang sibuk juga menyusun KTI dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk ujian akhir program nanti.
Kesibukan menyiapkan KTI dan ujian akhir program menyita seluruh waktu dan pikiran Jingga. Pikiran ia fokuskan dalam penyusunan KTI dan mempersiapkan diri serta selalu mengingat Ilahi. Karena hanya Allah yang dapat membantunya dalam hal ini. 2 bulan waktu ia habiskan untuk menyusun KTI. Kini tiba saatnya KTI yang ia buat itu di ujikan. Rasa deg-degan menguasai diri Jingga tapi, sebisa mungkin dia menenangkan perasaannya. “Tenang Jingga, kamu pasti bisa” ucapnya pada dirinya sendiri. Dilihatnya Alam sedang di dalam ruangan memperjuangkan nasibnya. Hufb Jingga semakin sesak nafas dibuat kegugupannya. Setelah 1 jam berlalu, Alam pun keluar dari dalam ruangan dengan wajah penuh peluh namun, mengisyaratkan kelegaan. “sepertinya ia sukses. Alhamdulillah” kata Jingga dalam hatinya. Setelah menarik nafas Alam melihat ke arah Jingga lalu berjalan menghampirinya dan sesampainya Alam di depan Jingga, Alam Berkata “Sukses ya. Allah selalu bersamamu. Amin”. Alam tersenyum. Jingga pun tersenyum dan mengangguk. Alam pergi dan Jingga pun memasuki ruangan dimana ujian KTI itu diadakan. “Bismillah” ucapnya.
Sang mentari hari ini terlihat begitu bersemangat menyinari bumi. Meski terik namun, tak mencairkan kebahagiaan yang dirasakan seluruh mahasiswa yang di wisuda hari ini. Senyum bahagia dan beribu-ribu syukur terucap dari mulut para mahasiswa yang telah resmi di wisuda. Tatapan bangga dari setiap mata orang tua melihat anaknya di wisuda adalah tatapan indah bagi semua anak hari ini. Lebih-lebih kebahagiaan mereka karena dapat melewati ujian dengan baik dan dapat lulus mendapatkan gelar tepat pada waktunya.
Selama setengah hari acara wisuda itu dilaksanakan kini berakhir sudah. Berduyun-duyun para mahasiswa yang di wisuda bersama keluarganya keluar meninggalkan tempat acara. Begitu juga Jingga dan keluarganya. Mereka keluar meninggalkan tempat acara tapi, tidak langsung pulang melainkan berfoto-foto dahulu. Setelah cukup berfoto ibu Jingga mengajaknya untuk pulang karena setelah ini ada acara syukuran untuk memperingati wisudanya. “Ibu, ibu pulang saja duluan. Jingga ingin pergi ke suatu tempat sebentar. Jingga janji akan pulang sebelum acara di mulai” ucapnya tersenyum pada ibunya. Ibunya pun tersenyum padanya lalu mengangguk saja mengiyakan permintaan Jingga. “Biarlah untuk hari ini saja, mungkin ada yang ingin ia kunjungi” gumam ibunya dalam hati.
Ibunya pun pulang duluan bersama ayah dan dua kakak laki-lakinya. Setelah mereka hilang dari pandangan Jingga. Jingga menyetop taksi lalu pergi ke suatu tempat. Hari ini kebahagiaan dan kesedihan jadi satu dia rasakan dalam hatinya. 15 menit perjalanan. Taksi yang dia naiki berhenti tepat di depan kampusnya. Jingga membayar tarifnya lalu turun. Lama dia berdiri di depan kampusnya itu. Menatap jelas nama kampusnya pada gerbang masuk. Perlahan langkah kakinya membawanya masuk ke dalam kampus. Semua kenangan awal pertama menginjakkan kaki di kampus itu berkelebat dalam pikiran Jingga. Aura yang dulu ia rasakan ketika memasuki kampus itu masih sama.
Langkah kakinya terus membawanya memasuki kampusnya. Jingga membiarkan dirinya larut dalam kenangan-kenangannya selama menuntut ilmu di kampus tersebut. Kampus yang memberikan begitu banyak kisah baru dalam hidupnya. Kampus yang membuatnya dapat mengenal seseorang pemilik tatapan teduh yang mampu membuatnya kagum hingga saat ini. Teringat akan Alam, Jingga jadi teringan kembali bagaimana awal pertemuannya. Tatapannya, senyumnya ketika berpapasan dengannya, Alam bersama wanita teman satu organisasinya, dan Alam yang menyemangatinya ketika hendak memasuki ruang ujian. Tak terasa kini Jingga telah berdiri di tempat dimana ia pertama kali melihat Alam. Alam yang ia lihat sedang tampil bersama tim nasyidnya. Alam yang menatapnya dengan tatapan teduh. “Tak terasa kini semua telah jauh berlalu” gumam Jingga.
Alam yang ia ibaratkan sebuah senja untuknya. Senja yang selalu dia kagumi dalam diamnya. Senja yang memberinya kebahagiaan meski hanya dapat dia rasakan sendiri. Senja yang begitu indah. Dan kini dia harus merelakan senjanya itu terbenam bersama bergantinya malam.
Lama Jingga terpaku di tempatnya. Tanpa dia sadari kini Alam telah berdiri diseberangnya dengan tatapan bingung, mungkin dalam pikirannya sedang bertanya-tanya apa yang sedang Jingga lakukan di situ sendirian. Perlahan Alam berjalan maju menghampiri Jingga lalu berhenti agak jauh darinya dan seketika itu juga Jingga tersadar dari lamunannya dan mendapati Alam sedang berdiri di depannya dengan senyum dan tatapan teduhnya.
“Sedang apa?” Tanya Alam
“Menikmati sisa-sisa kenangan” ucap Jingga lirih. Ketika menjawab pertanyaan Alam, Jingga tertunduk tak kuasa menatap Alam. Membuatnya ingin menangis.
Beberapa saat hening. Lalu Alam berkata lagi “Selamat ya telah lulus dan di wisuda”.
“Kamu juga sama. Selamat ya” ucap Jingga tersenyum.
“Tempat ini memberikan banyak kenangan. Saksi bisu perjuangan kita dalam menuntut ilmu karena-NYA dan saksi bisu tentang pertemuan kita”. Kata Alam lirih. Dia tersenyum lalu perlahan beranjak dari tempatnya berdiri, “Sampai jumpa” ucapnya.
“Sampai Jumpa Alam. Semoga Allah memberikan kita umur yang panjang dan kesempatan untuk bertemu kembali. Amin” Doa Jingga lirih. Dan perlahan dia pun pergi dari tempatnya berdiri. “Sudah cukup untukku menikmati sisa-sisa kenangan itu dan ibu pun pasti sudah menunggu di rumah” ucapnya dalam hati.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Detik berubah menit, hari berganti bulan, dan merubah tahun. Tahun ini, adalah Muharram keduanya tanpa seorang Alam yang biasanya selalu dia lihat ada dalam hari-harinya meski tak dapat menyapanya. Rasa syukur tetap terucap dari bibir mungil Jingga karena masih di beri kesempatan oleh Allah untuk bertemu dengan awal tahun dalam islam. Alhamdulillah sampai saat ini masih di beri kepanjangan umur dan kesempatan untuk menghirup udara di dunia dan semoga saja Allah mau memberinya kesempatan untuk bertemu kembali dengan Alam. Terakhir Jingga mendengar kabar tentang Alam bahwa dia bekerja di luar Samarinda. Entah bagaimana keadaannya sekarang Jingga bertanya-tanya sendiri dalam hatinya.
Pulang bekerja, Jingga iseng berjalan-jalan di sebuah bazar buku yang di adakan untuk memperingati pekan Muharram. Jingga memang sangat suka membaca dan menulis. Karena dia bukanlah seseorang yang mudah untuk berbagi tentang segala yang dia rasakan jadi dengan menulis dia dapat mengungkapkan semua rasa yang ada dalam hatinya dan sedikit mengurangi beban baginya.
Hampir setengah jam Jingga berkeliling dari satu kios ke kios lainnya. Memilih-milih buku yang mungkin menarik hatinya. Dan matanya pun melihat satu buku yang judulnya menggelitik dirinya untuk mengambil dan melihat buku itu. “Alam Jingga” itulah judul buku yang sedang di pegang jingga. Rasa penasaran membuatnya ingin membeli buku itu. Setelah membayar dia pun memutuskan untuk pulang. Di depan pintu masuk, Jingga berpapasan dengan seseorang tapi, Jingga tak memperhatikannya karena dia sedang sibuk memasukkan buku yang telah dibelinya ke dalam tasnya. Seseorang itu berhenti dan berbalik melihat punggung Jingga lalu tampak ragu. “Jingga” panggilnya. Jingga yang mendengar namanya di sebut pun menghentikan langkahnya lalu berbalik. Di dapatinya senyuman yang telah lama tak pernah dia lihat itu dan tatapan teduh yang selalu ia ingat.
“Jingga. Kamu benar Jingga”.
“Alam”.
“Ya Allah ternyata benar kamu Jingga. Apa kabar?”
“Alhamdulillah baik. Kamu bagaimana?”.
“Alhamdulillah baik juga”.
Jingga sedikit tak percaya dapat bertemu Alam ditempat ini. Sungguh kebetulan yang sangat kebetulan. Mereka pun masih asyik mengobrol bertanya tentang hal-hal yang ringan seperti pekerjaan dan keluarga. Jantung Jingga hampir berhenti berdegup menunggu perkataan dari bibir Alam tentang statusnya sekarang. Mengapa dia tak pernah terpikir bahwa mungkin bisa saja Alam telah menikah. Mengapa dia terlalu berharap akan pertemuan yang dapat membuatnya memiliki Alam.
“Alhamdulillah Allah belum memberiku jodoh. Mungkin waktunya belum tepat dan bidadari itu masih belum ada” ucapnya tenang membuat Jingga merasa bahwa wajahnya memanas. Setelah mendengar kata-kata itu yang terucap dari bibir Alam. Jingga merasa dirinya dapat menghembuskan nafas lega namun, ia mengingatkan hatinya bahwa belum tentu dirinya juga yang nanti akan bersama Alam. Sungguh sangat berharap. Setelah pembicaraan itu Jingga pamit untuk pulang karena harus bertemu dengan rekan kerjanya.
Sepuluh hari telah berlalu sejak pertemuan itu namun, Jingga masih saja teringat tentang pertemuan yang tak disangka-sangkanya dengan Alam. Menyisipkan kebahagiaan dalam hatinya meski selalu hanya dapat ia rasakan dalam diamnya. Dan pada hari ini, ibu dan ayahnya menyuruhnya untuk tidak pergi kemana-mana dan tetap tinggal dirumah saja karena hari ini ada teman ayah yang ingin ke rumah membawa serta anak laki-laki mereka. Perasaan Jingga jadi tidak enak, pasti ada sesuatu yang sedang direncanakan ayah dan ibunya tapi, dia tidak ingin berburuk sangka kepada kedua orang tuaya. Jika memang anak teman ayah adalah jodohnya yang baik menurut Allah maka dia akan menerimanya, jika memang maksud kedatangan teman ayah seperti itu.
Tepat ba’da ashar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Jingga lalu pintu rumah di ketuk dan terdengar salam. Ibu pergi keluar membuka pintu bersama ayah mengikuti dari belakang. Ibu mempersilahkan mereka masuk dan duduk. Terdengarlah awal pembicaraan mereka. Teman ayah itu bernama Pak Ahmad dan Ibu April, anak mereka bernama Rahman Alam Prasetya. “Alam” guman Jingga. “Mungkihkan dia Alam?” Tanyanya dalam hati.
Jingga tak berani keluar untuk bergabung bersama ayah, ibu, dan tamunya tersebut. Jingga hanya menunggunya di dalam sambil diam-diam mendengarkan pembicaraan mereka. Dan beberapa lama ayahnya memanggilnya untuk menemui mereka di luar. Ingin rasanya Jingga menolak tapi, ia tahu itu tak bisa dia lakukan. Dengan perasaan yang sangat malu dia pun berjalan ke ruang tamu dengan wajah tertunduk. Sesampainya di ruang tamu, ayahnya mengenalkan Jingga pada tamunya “Ini dia Jingga anak saya”.
Dengan segenap keberaniannya Jingga mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Bapak Ahmad dan Bu April serta… Alam. Sungguh sangat kejutan bagi Jingga dia bisa mendapati Alam dirumahnya. Bersama kedua orang tuanya pula. Yang anehnya lagi mengapa dia tidak pernah tau bahwa Alam adalah anak dari teman ayahnya.
Dan bagai mendapat kejutan yang bertubi-tubi tanpa Jingga ketahui bahwa Alam beserta kedua orang tuanya berkunjung ke rumahnya selain untuk bersilaturahmi namun, juga ingin melamarnya. Ya Allah apa ini tidak mimpi? Alam ingin melamarku. Subhanallah betapa takdir-MU itu tak pernah dapat di tebak.
Dan akhirnya sampailah pada saat ini semua mimpi Jingga yang dahulu telah terwujud. Sosok seseorang yang ia kagumi kini tengah duduk bersamanya memandangi senja. Menggenggam tangannya hangat. Alam. Senjanya yang akan selalu indah kini tak hanya lagi dapat ia simpan dalam diamnya karena kini senjanya telah ia dapatkan. Senjanya telah ia genggam. Berkat kuasa Sang Pencipta Alam Langit Jingga yang Indah. Pada bulan Muharram tahun pertama pernikahan mereka.
-SELESAI-
2 komentar:
semangat menulis :)
cerpennya bagus sayang :)
makasih :)
Posting Komentar