Buscar

KETIKA RINDU TAK LAGI ADA

buka-buka file di laptop, nemu draff cerpen yang duluuuu banget ku buat untuk diikutin lomba. di ajak temen ikut lomba nulis, aku mah nyoba-nyoba aja hehe. silakan dibaca cerpennya, maaf jika masih terdapat banyak kesalahan :)



 KETIKA RINDU TAK LAGI ADA
Namanya Rindu. Sesuai namanya dia selalu merasakan rindu. Rindu akan kasih sayang. Rindu akan perhatian. Sebenarnya hatinya terasa begitu kosong. Hampa. Tapi semua kesedihannya itu dia simpan dalam senyumannya. Tangisan itu dia ubah menjadi tawa bahagia. Dia pintar menyembunyikan isi hatinya. Pantang baginya untuk menangis didepan orang banyak. Didepan sahabatnya pun dia selalu menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Walaupun Rindu selalu merasa kesepian. Tapi, perasaan itu dia hapus dengan keberadaan sahabat-sahabatnya. Jika dia sedih, berkumpul dengan para sahabatlah caranya untuk menghilangkan perasaan sedih itu. Sahabatnya selalu tahu bagaimana caranya untuk membuatnya tertawa, melupakan semua kesedihannya. Walau sebenarnya sahabat-sahabatnya pun tak tahu jika Rindu sedang bersedih. Entah mengapa susah untuk Rindu menceritakan perasaannya yang sebenarnya pada orang lain walaupun itu adalah sahabatnya sendiri.
 “Rindu sini. Kita ngobrol”. Ajak Mita. Rindu yang sedari tadi sedang melamun pun tersadar dari lamunannya. Dia menoleh pada Mita. Tersenyum lalu beranjak mendatangi Mita. “kenapa Mit?”. Tanyanya. “Nggak apa-apa Rin, aku pengen cerita sama kamu”. Kata Mita lirih. “cerita apa? Ya sudah aku dengerin”. Kata Rindu tersenyum. Mita pun bercerita tentang perasaannya sekarang. Rindu mendengarkan dengan sesakma dan sesekali dia berbicara memberikan solusi atau motivasi.
Lama Mita bercerita pada rindu. Kedatangan pak Adnan guru fisika yang menghentikan Mita bercerita. “Nanti lagi aku cerita ya Rin. Makasih sebelumnya”. Kata Mita. Rindu hanya tersenyum. Pelajaran pun di mulai. Pikiran Rindu melayang kedalam penjelasan materi pelajaran yang sedang di hadapi.
Taman yang indah. Berbagai bunga ada di dalamnya. Di tengah-tengah taman ada pusaran air mancur. Suasana taman yang tenang membuat Rindu betah berlama-lama berada di sana. Hawanya pun sejuk. Memberi ketentraman tersendiri bagi hatinya. Biasanya di taman itu Rindu sering termenung. Tentang papa dan mamanya. Tentang sahabat-sahabatnya. Tentang perasaannya. Semuanya Rindu tuangkan dalam note yang selalu dia bawa. Entah mengapa dengan menulis semua yang ada dalam hatinya dapat dia ungkapkan. Setelah menulis dan meluapkan semua perasaannya. Hatinya pun terasa sedikit tenang dan lapang.
Sering Rindu berpikir bahwa di dunia ini semua ciptaan Tuhan berpasang-pasangan. Semua mahluknya memiliki teman. Sehingga tidak akan merasa kesepian. Tapi, mengapa dia selalu merasa kesepian. Sendirian. Dimanapun dia berada, dia selalu merasa sendiri. Di rumah dia hanya tinggal berdua dengan Bi Inah. Papa bekerja di Kedutaan Indonesia di Mesir sedangkan mama sibuk mengurus butik-butik dan pergelaran fashion show yang di adakannya dan Rindu adalah anak tunggal.

Dari kecil Rindu terbiasa sendirian. Dalam setahun bisa dihitung dengan jari berapa kali dia bertemu dengan mama dan papanya. Jika sedang rindu pada mama dan papanya biasanya Rindu memandangi fotonya bersama mama dan papanya. Foto ketika mereka masih sering bersama dan kehangatan kebersamaan itu masih terasa.
“Hufb”. Rindu menghela napas. Lelah dia mengenang semua cerita lalu itu. Di tatapnya awan senja pada sore itu. Begitu indah dengan guratan orange di langit. Sejenak dia tersenyum sebelum memasukkan notenya ke dalam tas dan beranjak dari tempat duduknya. Perlahan dia pun pergi meninggalkan taman. Berjalan ditengah keramaian dan dia terasing di dalamnya.
Drrrtttt Drrrtttt Drrrttt Drrrtttt. Handphone Rindu bergetar. Tertulis di layar “Tya Calling”. “Kenapa tya?”. Katanya ketika mengangkat telepon. “masih di rumah kan Rin. Kami jemput yah. Sasti bawa mobil nih”. Kata Tya diseberang sana. “Oh iya aku masih di rumah ko. Ya sudah aku tunggu ya”. “Oke Rindu. Daaaah”. Telepon pun terputus. Rindu tersenyum sambil geleng-geleng kepala. “Ada-ada saja” ucapnya dalam hati.
20 menit kemudian sahabat-sahabatnya itu pun datang. Setelah Rindu masuk, mobil pun langsung melaju menuju sekolah mereka. Kehangatan pagi yang menyenangkan. Sangat menghangatkan perasaan Rindu. Di lain sisi Rindu bersyukur memiliki sahabat-sahabat yang selalu ada untuk mengusir kesepiannya dan pagi ini pun tawa merekalah yang mewarnai hari.
Di sekolah ada sosok seseorang yang Rindu kagumi. Dia adalah seorang pria yang biasa-biasa saja. Tidak populer. Rindu sering mengamati gerak-geriknya. Mengagumi kepribadiannya. Semua itu Rindu lakukan dalam diamnya. Dia tak pernah berani untuk menegur cowok itu apalagi untuk mengajaknya bicara. Karena Rindu pikir dia hanya mengaguminya. Jadi cukuplah hanya melihatnya saja.
Pada waktu istirahat terkadang Rindu berkumpul dengan sahabat-sahabatnya di kantin sekolah. Tapi, jika ingin menyendiri Rindu biasanya menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Melahap habis buku-buku sastra. Itu adalah bacaan faforit Rindu. Dan pada waktu istirahat kali ini Rindu telah ada di perpustakaan. Di depan rak buku sastra dia sedang memilih  buku yang ingin di bacanya. Matanya terpusat pada satu buku yang menarik perhatiannya. Ketika dia hendak mengambilnya tapi, buku tersebut tak bisa di tariknya dari rak tersebut. Seperti ada seseorang yang sedang menariknya juga dari arah berlawanan. Di cobanya lagi, hingga beberapa kali. Akhirnya Rindu memutuskan untuk melepaskan buku itu. Setelah Rindu melepaskan buku itu dari jangkauan tangannya, buku itu langsung tertarik ke arah lawannya dan betapa kagetnya Rindu melihat orang yang kini ada di depannya. Dia diam terpaku.
“Maaf. Kamu mau baca buku ini juga ?”. Tanya Rio. Rio inilah orang yang Rindu kagumi. Ternyata tadi Rindu tarik-tarikan buku bersama Rio. “I… ya”. Jawab Rindu terbata. “Maaf ya tadi kita jadi rebutan buku. Aku juga nggak tahu kalau ada orang di arah berlawanan yang mau mengambil buku ini. Jadi aku tarik-tarik terus tapi nggak bisa-bisa dan sampai akhirnya bisa aku ambil aku kaget liat kamu didepanku”. Rio menjelaskan. “Iya nggak apa-apa ko. Aku bisa cari buku yang lain”. Kata Rindu masih tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.
Rio tersenyum padanya. Rindu pun membalas senyumnya dan berlalu pergi. Rindu memutuskan untuk menemui sahabat-sahabatnya saja. Dia sudah tidak berniat lagi untuk membaca. Rindu menemukan sahabat-sahabatnya sedang duduk di pinggir lapangan. Dia pun langsung menghampiri dan bergabung bersama para sahabatnya.
Rindu mencoba bercanda dengan sahabat-sahabatnya. Melupakan kejadian tadi yang sempat membuat perasaannya tidak keruan. Dan pikirannya masih tidak bisa lepas dari kejadian yang menimpanya tadi.
Pulang sekolah kali ini Rindu memutuskan untuk berkumpul bersama sahabat-sahabatnya di rumah Dira. Di sana biasanya mereka mengobrol ngarul ngidul sambil mengerjakan sesuatu. Jika lapar mereka akan masak bersama. Ada juga yang menonton televisi dan ada juga yang asyik sendiri menjelajahi dunia maya. Karena di rumah Rindu hanya tinggal berdua dengan Bi Inah, maka Rindu tidak terlalu suka di rumah karena jika dia sedang di rumah perasaan sepi itu menghampiri lagi. Rindu tidak menyukainya. Maka dengan berkumpul dengan para sahabatnya lah menjadi cara bagi Rindu agar tidak merasa sendirian.
Rindu memiliki enam orang teman dekat. Rindu menganggap mereka sebagai sahabat bahkan lebih dari sahabat, yaitu saudaranya. Sahabat Rindu yang pertama namanya Tya. Anaknya kurus mungil, manis, lucu, dan jail. Lalu ada Sasti yang jika bicara selalu memancing tawa. Ada si cantik Mita, si tomboy Dira, si jutek Ara, dan si telmi Riana. Dengan bermacam-macam sifat itulah yang memberi warna dalam kebersamaan mereka. Mereka dapat menerima satu dengan yang lainnya karena mereka menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain.
Mereka saling melindungi, melengkapi, dan saling menerima satu sama lain. Mereka telah mengerti sifat dari masing-masing sehingga jarang di antara mereka ada perselisihan. Jika ada pun itu di lakukan hanya untuk bercanda. Lucu memang tapi itulah manisnya persahabatan. Mereka sama-sama tahu bagaimana kehidupan masing-masing sehingga mereka bisa saling mengerti dan memberi semangat dengan menyelipkan sedikit kekuatan.
Itulah gunanya sahabat. Sebagai teman untuk saling berbagi rasa dan cerita. Merasakan suka dan dukanya bersama. Sehingga beban yang di rasakan dapat sedikit ringan karena bersama. Sahabat itu lebih setia daripada kekasih. Sahabat lebih mengerti kita. Mereka tahu apa yang kita inginkan dan apa yang kita butuhkan. Maka Rindu sangat bersyukur karena memiliki sahabat-sahabatnya itu. Sahabat-sahabatnya bagi Rindu seperti keluarga keduanya. Yang jika bersama mereka hanya kebahagiaan yang Rindu rasakan bukan kesedihan.
“Ko baru pulang non? Ngumpul di tempat non Dira lagi ya?”. Tanya Bi inah. Rindu menghabiskan minumannya lalu bicara “Iya bi. Habisnya di rumah sepi kalau bersama teman-teman kan Rindu nggak akan merasa kesepian bi”. Bi Inah tidak ingin bertanya lagi. Dia merasa kasian pada nona mudanya itu. Selalu sendirian, jarang merasa diperhatikan dengan kedua orang tuanya.
“Hmmm”. Rindu menghela nafas sambil menghempaskan badannya di atas tempat tidur. Di pandangnya langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang. Berguman dia dalam hatinya “Ma, pa Rindu kangen. Kapan mama sama papa pulang? Menelepon Rindu pun mama sama papa jarang apakah pekerjaan itu yang membuat mama sama papa melupakan Rindu. Tau nggak ma, pa jika Rindu melihat orang tua sahabat-sahabatnya Rindu, Rindu iri sama mereka ma, pa. rindu juga ingin seperti mereka. Mama dan papa selalu ada di samping Rindu. Melihat Rindu tumbuh menjadi remaja yang ceria, berprestasi. Rindu ingin berbagi cerita dengan mama. Rindu ingin berangkat sekolah di antar papa. Ma, pa Rindu sangat merindukan kalian”. Tanpa disadari air mata Rindu jatuh. Segera dihapusnya air mata itu. Dia tidak ingin menangis karena menangis dapat membuatnya lemah. Dia pun memutuskan untuk berdiri, beranjak ke kamar mandi. Membersihkan diri dan berharap kesedihannya dapat terhapus.
Kehidupan memang tak dapat di tebak. Hari esok selalu menjadi misteri. Namun, satu yang harus kita sadari. Baik buruknya hidup itulah yang harus kita jalani. Tuhan begitu adil menciptakan segala sesuatunya di muka bumi ini. Tuhan berikan kita rasa sedih agar kita dapat bersiap-siap ketika senang dan jika kesenangan itu berubah menjadi kesedihan lagi kita dapat lebih kuat untuk menghadapinya. Kehidupan ini indah jika kita dapat mensyukuri, menerima, dan menjalankannya dengan sepenuh hati. Tantanglah kesedihan itu agar dia tidak betah berlama-lama menghampiri kehidupanmu.
“Rindu di panggil ibu kepala sekolah diruangannya”. Kata Riana. Rindu menoleh pada Riana dengan wajah tak percaya. “Ada apa lagi nih? Aku kan nggak ngapa-ngapain ko di panggil. Aduh masalah apa lagi ini”. Gumam Rindu dalam hati. “sekarang Rindu. Cepat. Ibu kepala sekolah sudah nunggu itu”. Sambung Riana. “iya”. Ucap Rindu singkat. Rindu pun beranjak dari tempat duduknya langsung menuju ke ruangan ibu kepala sekolah.
Tok.. tok.. tok.. “Permisi ibu”. Kata Rindu ketika memasuki ruangan Bu Ina kepala sekolahnya. “Rindu, silahkan masuk”. Kata Bu Ina ramah. Ketika Rindu masuk dia kaget milah Rio juga ada di sana. “Silahkan duduk Rindu”. Rindu tersenyum lalu duduk. Setelah melihat Rindu duduk tenang Bu Ina memulai pembicaraan. “Begini, maksud ibu menyuruh kalian berdua datang menemui ibu adalah ibu ingin meminta kalian untuk mewakili sekolah kita dalam olimpiade kimia tingkat provinsi”. “Olimpiade kimia? Tingkat provinsi?”. Kata Rindu tak percaya. “Iya Rindu. Kamu bersama Rio ibu kirim mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade kimia tingkat provinsi yang akan di adakan bulan depan. Jadi kalian masih punya waktu untuk mempersiapkan semuanya. Bagaimana?”. Tanya Bu Ina.
Rindu hanya diam tidak tahu haris menjawab apa. “Baik bu. Kami siap. Karena masih ada waktu untuk mempersiapkan semuanya sebelum olimpiade, maka kami akan bekerja sama untuk belajar bersama. Jika dilakukan bersama-sama saya yakin bisa saja bu”. Jawab Rio. Rindu menoleh pada Rio. Tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Rio pun melihat ke arahnya dan tersenyum tapi, Rindu tak dapat membalas senyuman Rio. “bagus. Bagaimana dengan kamu Rindu?’. Tanya Bu Ina. Agak lama Rindu terdiam dan akhirnya dia berkata “Baiklah bu. Saya coba”. Rio tersenyum mendengar pernyataan Rindu.
Dalam perjalanan Rindu kembali ke kelas. Pikirannya bercampur aduk antara olimpiade dan Rio. Dia pun berbicara sendiri dalam hati “Kenapa bisa begini? Ikut olimpiade bersama Rio. Aku harus bekerja ama dengannya. Berarti aku akan sering komunikasi dengannya dong. Dia ko bisa-bisanya dengan lempeng bilang kami berdua bisa bekerja sama. Apa dia nggak tahu kalau aku jika sedang didekatnya akan gugup atau dia bisa dengan sangat mudah membaca sifatku itu. Aduh apa-apaan sih Rindu ko mikirnya begitu. Ada-ada aja. Yang perlu kamu pikirkan saat ini bagaimana cara kamu dalam menghadapi olimpiade kimia nanti, jangan sampai Rio membuat konsentrasimu buyar”.
“Hey Rindu mau kemana?”. Tanya Ara. Rindu pun tersadar dari pikirannya yang aneh itu. Dia celingak-celinguk mencari asal suara yang memanggilnya. Ketika dia menoleh ke belakang dia melihat Ara. Ara tertawa ke arahnya lalu berkata ‘Kamu mau kemana Rindu. Kelas kita di sini. Kamu jauh banget jalannya sampai situ”. “apa?” kata Rindu kaget. Di lihatnya ruangan yang ada di depannya sekarang “XI IPA 3. Ya ampun aku kelewatan ko bisa sih? Malu-maluin aja” gerutunya dalam hati sambil berbalik arah menuju ke kelasnya. Ara masih tertawa melihat Rindu.
“Halo ma. Apa kabar? Mama ko lama nggak telepon Rindu, kenapa baru telepon sekarang?”. Tanya Rindu ketika mamanya menelepon.
“maafkan mama saying. Fashion show yang baru saja mama laksanakan sangat menguras waktu mama”. Kata mamanya di seberang sana.
“tapi, tidak bisakah sedikit waktu mama sediakan untuk sekedar telepon Rindu?’. Ucapnya sedih.
“Maaf saying. Maaf banget ya. Kamu apa kabarnya saying, di rumah baik-baik aja kan sama Bi Inah? Segala keperluanmu tercukupi kan saying?”
“Iya ma. Rindu baik-baik saja sama bi Inah dan segala keperluan Rindu memang tercukupi hanya saja Rindu ingin mama yang setiap hari memasakkan makanan untuk Rindu’.
“jangan begitu dong saying. Mama kan jadi merasa bersalah denganmu. Bagaimana sekolahmu?”
“Baik-baik saja ma. Rindu di kirim oleh sekolah untuk mewakili olimpiade kimia tingkat provinsi”.
“oh ya? Selamat ya sayang kamu hebat. Mama bangga padamu”
“makasih ma”. Kata Rindu tersenyum lalu dia melanjutkan “Mama kapan pulang? Rindu kan olimpiadenya bulan depan. Kalau bisa mama sama papa datang ya”
“rencananya Mama sama papa juga mau pulang bulan depan sayang. Nanti mama siapkan jauh-jauh hari agar mama sama papa bisa menemanimu mengikuti olimpiade”.
‘Oh ya ma. Bagus deh. Rindu tunggu ya ma. Sudah lama juga kita nggak bertemu ma”.
“iya sayang. Sudah dulu ya. Ada rekan mama datang nih. Nanti mama telepon lagi yah. Dah sayang. Miss you”.
“miss you too Ma”. Dan telepon pun terputus.
‘Mama dan papa akan pulang. Aku akan ikut olimpiade bersama Rio. Ya Tuhan bahagianya aku. Aku bisa bertemu dengan mama dan papa pada saat aku bisa membanggakan mereka dan membanggakan sekolahku dan yang tidak kalah bahagianya aku akan sering bersama Rio. Tuhan terima kasih”. Gumam Rindu dalam hatinya.
Malam itu senyuman tak lepas dari bibir Rindu. Hingga ia terlelap dalam tidurnya senyum itu masih berada di sana. Akankah semua ini hanya sementara? Ketika pagi tiba apakah semua akan kembali kelam seperti sedia kala? Ku harap tidak Tuhan. Izinkan aku merasakan kebahagiaan itu agak lama.
“Rin. Kita berdua di panggil Bu Endah sekarang”. Kata Rio menegur Rindu yang sedang asyik duduk di luar kelas sambil membaca buku. Rindu mendongak melihat Rio. “Ayo”. Kata Rio lagi. Rindu pun bangkit tanpa menjawab perkataan Rio. Mereka berdua berjalan menyususri koridor menuju ruang guru. Tak ada obrolan diantara mereka. Rindu sedang tidak ingin bicara dan Rio pun sepertinya bingung mau mengajak Rindu bicara.
“Permisi bu. Apa ibu memanggil kami. Ada apa bu ?”. Tanya Rio ketika mereka sudah berada di depan meja bu Endah. Bu Endah tersenyum dan berkata “Iya ibu memanggil kalian. Seperti yang sudah kalian tahu bahwa kalianlah yang dipilih sekolah untuk mewakili dalam olimpiade kimia. Sehubungan dengan itu, saya sebagai guru kimia di sini di minta untuk membimbing kalian belajar selama persiapan olimpiade. Jadwal belajar kita dari hari senin sampai kamis sepulang sekolah. Bagaimana, apa kalian bisa?”. Agak lama mereka berdua diam, masing-masing larut dalam pikirannya. Rindu dan Rio berpandangan, Rindu mengangguk tanda bahwa dia setuju saja dan Rio pun tersenyum mengiyakan. “Baik bu. Kami bisa” ucap Rio. “Oke terima kasih. Kita mulai besok belajarnya”. “Baik bu. Kalau begitu kami berdua permisi dulu”. Mereka berdua pun berlalu pergi, Rindu tersenyum dan mengangguk kecil pada Bu Endah.
Begitulah akhirnya waktu membuat Rindu akan lebih sering bersama Rio. Rio yang dulu hanya selalu dipandangnya dari jauh kini akan selalu ada didepannya bahkan mereka menjadi rekan. Kini jadwal rutin Rindu setiap pulang sekolah dari hari senin sampai kamis adalah belajar bersama Rio yang didampingi oleh bu Endah. Karena kesibukan Rindu belajar untuk persiapan olimpiade sehingga waktunya untuk berkumpul dengan para sahabatnya tidak sesering dulu.
Dengan kesibukan yang ada terkadang Rindu juga merindukan para sahabatnya. Apakah mereka nyaman-nyaman saja walaupun tanpa dia?. Bukan ingin di anggap istimewa hanya saja Rindu ingin tahu apakah dimata para sahabatnya Rindu cukup berarti untuk mereka. Rindu tidak pernah merasakan yang namanya menjadi seseorang yang berarti bagi orang lain. Orang tuanya saja tidak terlalu memikirkan dia yang menurut Rindu bahwa dia tidak berarti bagi kedua orang tuanya.
“Rindu. Ko jarang ngumpul lagi sih? Kurang lengkap kalau nggak ada kamu. Sibuk banget ya persiapan olimpiadenya?”. Kata Ara suatu hari ketika mereka sedang berkumpul di rumah Rindu. “ternyata mereka menganggapku juga” kata Rindu dalam hati. Rindu lalu tersenyum dan berkata pada Ara “Maaf ya aku jadi jarang ngumpul sama kalian. Bukannya sok sibuk tapi, memang dari hari senin sampai kamis sepulang sekolah aku belajar dengan bu Endah untuk persiapan olimpiade. Tapi, sebenarnya kita masih bisa ngumpul, hari jum’at, sabtu dan minggu kan aku ga ada kegiatan belajar gitu. Lagian kalau belajar terus capek juga. Butek kepala”. Rindu tertawa, sahabat-sahabatnya pun tertawa mendengar pengakuannya.
“Rindu siapa nama cowok yang ikut olimpiade juga sama kamu itu?”. Tanya Sasti. “Oh itu namanya Rio”. “ganteng juga”. Kata Dira sambil tertawa. “Hati-hati lho Rin cinlok nanti”. Kata Tya menggoda. “apaan sih kalian”. Kata Rindu malu. “Hahahahaha muka Rindu merah. Apa jangan-jangan kamu sebenarnya suka ya sama dia?”. Tebak Ara. “Apaan sih kalian ini. Udah ah aku mau ke dapur cari cemilan”. Kata Rindu mengelak pergi. Tawa para sahabatnya pecah ketika Rindu pergi. “Memang lho mereka itu ya. Jail banget”. Katanya geram tapi lucu tak ayal dia pun tertawa juga.
Karena waktu diselenggarakannya olimpiade semakin dekat. Rindu dan Rio semakin sering belajar bersama. Kini selain mereka belajar bersama bu Endah, di hari lain mereka juga membuat waktu untuk belajar bersama. Terkadang mereka tidak hanya berdua tetapi, ada sahabat-sahabat Rindu bersama mereka. Rio pun kini akrab juga dengan sahabat-sahabat Rindu. Rindu senang karena kini temannya bertambah dan hidupnya semakin terasa ramai.
Sehari sebelum olimpiade dilaksanakan. Sore harinya Rindu memutuskan untuk berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Dia ingin mencari udara segar dan melepas penat otaknya karena dipakai berpikir terus selama satu bulan persiapan olimpiade. Dia sengaja pergi jalan-jalan sendirian, karena dia memang sedang ingin sendiri, dia sedang tidak ingin di ganggu. Biasanya jika sedang berjalan-jalan di pusat perbelanjaan yang Rindu tuju adalah toko buku dan toko kaset film, jika lelah dia akan berhenti ke tempat makan untuk mengisi perutnya dan melepas lelah sejenak.
Ketika semua yang ingin Rindu beli telah Rindu dapatkan. Rindu memutuskan untuk melepas lelah sambil meminum kopi. Dia pun melangkahkan kakinya menuju ke kedai kopi yang ada di pusat perbelanjaan itu. Tak lama dia sudah berada di depan kedai tersebut ketika dia ingin memasuki kedai matanya menangkap sesosok orang yang tidak asing baginya. Dikerjap-kerjapkannya matanya untuk memastikan bahwa yang dia lihat itu adalah nyata. Dia melihat Rio sedang duduk mengobrol bersama Mita. Mereka kelihatan akrab sekali dan sesekali mereka tertawa bersama. Ada perasaan lain merasuk dalam hati Rindu. Dia cemburu. Dia pun mengurungkan niatnya untuk masik ke kedai itu, dia bawa kakinya untuk pergi menjauh dari kedai itu.
“Kenapa aku ini? Yang ku lihat tadi itu benar Rio sedang bersama Mita. Terus kenapa aku merasa marah. Aku nggak punya hak untuk marah karena Rio bukan siapa-siapa aku dan aku bukan siapa-siapa dia. Jadi dia berhak mau dekat dengan siapapun dan tidak ada larangan untuk dia dekat dengan Mita”. Katanya berbicara dalam hatinya, lalu dia melanjutkan “Aku marah karena aku merasa di bohongi. Rio orang yang aku kagumi jalan sama sahabat aku sendiri. Sahabat-sahabat aku kan nggak tahu jika aku menyukai Rio. Lalu apa salahnya jika Mita berjalan berdua dengan Rio. Ah sudahlah. Semuanya nggak penting untuk dipikirkan. Aku harus focus untuk olimpiade besok dan besok juga mama dan papa akan datang. Dari bandara mereka akan langsung menuju tempat ku mengikuti olimpiade.
Lima belas menit sebelum olimpiade di mulai. Batang hidung mama dan papa Rindu juga masih belum terlihat. Rindu mulai cemas takut jika mama dan papanya tidak jadi datang. “Ma, pa sekarang hanya kalian satu-satunya yang aku butuhkan untuk penyemangatku. Hatiku sudah hancur dengan kejadian Rio dan Mita kemaren. Kedatangan kalian lah yang ku tunggu agar kesedihanku tidak bertambah”. Ucapnya dalam hati.
Drrrrtttt Drrrrtttt Drrrttttt Drrrrtttt handphone ditangan Rindu bergetar. Terlihat di layar tertulis “Mama calling”. Cepat-cepat Rindu mengangkatnya. “Halo ma. Mama dimana?”. Cerocosnya tidak sabar. “Halo sayang. Mama sama papa masih dirumah. Kepulangan kami ditunda sayang, karena pekerjaan papamu masih ada yang belum selesai. Maaf mama baru mengabari sekarang. Mama lupa sayang”. Kata mamanya diseberang sana.
“Mama gimana sih. Hari ini aku olimpiade ma”. Kata Rindu ingin menangis. “Maaf sayang. Maaf banget. Kamu tetap semangat ya. Mama dan papa selalu mendoakanmu yang terbaik disini”. Tit. Telepon ditutup oleh Rindu. Dia kesal pada orang tuanya. Air matanya tak terbendung lagi walaupun sekuat hatinya dia ingin menahan air mata itu agar tidak tumpah didepan orang banyak tapi, ternyata untuk kali ini dia tidak bisa tegar. Kini dia dalam keadaan yang benar-benar rapuh.
“Rindu. Ayo kita masuk. Tanda pesertanya jangan lupa di pakai ya”. Kata Rio menegurnya. Cepat-cepat dihapusnya air mata yang berjatuhan dikedua pipinya. Tapi, tetap saja itu tidak dapat menghapus raut kesedihan pada wajahnya. “kamu kenapa?”. Tanya Rio ketika melihat wajah Rindu. “Kamu menangis?”. Lanjutnya. Rindu mencoba tersenyum untuk menjawab pertanyaan Rio. Dia tidak ingin bicara ataupun menceritakan semuanya pada Rio. Dia bangkit dari duduknya. Menghela nafas dan melangkah pasti memasuki ruangan.
Senin pagi yang cerah. Namun, sisa-sisa kesedihan karena kejadian itu masih tergambar jelas di wajah Rindu. Walaupun begitu bukan Rindu namanya jika dia tidak menutupi semua perasaan sedih yang sedang dirasakannya. Sudah menjadi kegiatan rutin bagi setiap sekolah bahwa setiap hari senin pagi diadakan upacara bendera untuk menghormati perjuangan para pahlawan bangsa dalam memperjuangkan kemerdekaan Negara. Setelah upacara selesai, ibu Ina naik ke podium. “Assalamu’alaikum dan selamat pagi. Hari ini dengan bangga saya selaku kepala sekolah akan mengumumkan bahwa sekolah kita memenangkan olimpiade kimia atas nama Rindu wijaya”. Terdengar sorakan tepuk tangan dari seisi lapangan. Rindu yang dari tadi sibuk dengan pikirannya sendiri kini tersadar. Para sahabatnya berhambur memeluknya dan bergantian mengucapkan selamat. Tidak ada yang dapat Rindu lakukan selain mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Dia juga tidak menyangka dapat memenangkan olimpiade itu.
Bu Ina memanggilnya untuk naik ke podium mengambil penghargaan sebagai juara. Dengan tepukan tangan yang semakin meriah. Rindu maju ke depan dengan senyuman di wajahnya. “Setidaknya dibalik kesedihan yang sedang aku rasakan terselip kebahagian”. Gumamnya dalam hati. Rindu pun menerima piala dari bu Ina. Setelah piala ada ditangannya Rindu menghadap ke teman-temannya semua. Tidak sengaja matanya bertemu dengan mata Rio. Rio tersenyum padanya dan mengacungkan jempol. Dia hanya mengangguk sambil tersenyum untuk membalasnya.
“Ma. Rindu menang olimpiadenya”. Kata Rindu riang menelepon mamanya.
“Iya kah sayang? Selamat ya. Mama tahu anak mama pasti akan memenangkannya”. Kata mamanya tak kalan riangnya.
“Iya ma. Makasih ya. Maaf waktu itu telepon mama Rindu tutup seenaknya. Rindu kesal mama sama papa nggak jadi datang”.
“Iya sayang nggak apa-apa. Oh iya kamu ulang tahun ya sayang hari ini. Selamat ulang tahun ya. Papa juga nitip ucapan selamat buat kamu. Maaf kami hanya bisa mengucapkannya lewat telepon”.
“Hah? Rindu ulang tahun ? hari ini?”.
“Iya sayang hari ini hari ulang tahunmu. Hari ini kan tanggal 19 Juni. Masa kamu lupa sih sama hari ulang tahunmu sendiri”.
Rindu lalu melihat tanggal yang tertera di layar handphonenya. “19 juni”. Gumamnya.
“hahahhaha iya ya ma hari ini tanggal 19 juni. Rindu lupa. Makasih ya ma. Ternyata mama nggak lupa sama ulang tahunnya Rindu”.
“dasar kamu ini sayang. Masa sama tanggal ulang tahun sendiri lupa. Oh iya sayang mama punya kabar baik untuk kamu. Hari ini mama sama papa akan pulang. Jadi kita bisa ngerayain ultah kamu sama-sama nanti”
“Mama sama papa mau pulang hari ini? Haduh Rindu senang banget ma”.
“Iya mama sama papa mau pulang. Tiket pesawatnya sudah dipesan sama papa tadi. Sudah dulu ya sayang. Mama mau siap-siap. Sampai ketemu sayang”.
“sampai ketemu ma”. Tit. Telepon terputus. Rindu senang mendengar kabar bahwa mama dan papanya akan pulang. Sepanjang hari ini dia tersenyum. Kesedihan yang sempat menghampirinya semakin lama semakin pudar. Kesedihan itu akan tergantikan dengan kebahagiaan. Akankah kebahagiaan itu akan terganti lagi?
‘Selamat ulang tahun Rindu”. Teriak sahabat-sahabatnya. Rindu terkejut sahabat-sahabatnya datang membawa kue kehadapannya. Sekarang mereka sedang berkumpul dirumah Rindu. Tadi ketika pulang sekolah para sahabatnya memaksa ingin berkumpul dirumah Rindu. Ternyata mereka sudah menyiapkan pesta kecil-kecilan untuk Rindu.
“Selamat ulang tahun ya sayang”. Kata sahabat-sahabatnya memberi ucapan selamat sekali lagi. “Ayo dong ditiup lilinnya. Make a wish dulu ya”. Kata Tya. Rindu tersenyu. Matanya terpejan lalu ditiupnya lilin yang ada diatas kue tersebut. Ketika lilin mati. Terdengan sorakan gembira dari para sahabatnya. Rindu tersenyum bahagia pada mereka semua. “Makasih banyak ya”. Katanya tulus. Belum pernah Rindu merasakan kehangatan seperti ini. Dia sangat bahagia sekali. Tapi, seketika itu juga dia kaget melihat seseorang ditengah-tengah mereka. Ada Rio diantara mereka. “Selamat ulang tahun ya Rindu. Selamat juga kamu sudah menang olimpiade. Kamu hebat”. Kata Rio tersenyum. Rindu tersenyum dan mengangguk lalu berkata “terima kasih ya”.
Lengkap sudah kebahagiaan Rindu pada hari itu. Di hari ulang tahunnya dia memenangkan olimnpiade yang tidak pernah terpikir olehnya. Mama dan papanya akan pulang dan yang tidak kalah membuatnya bahagia adalah Rio mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Mereka semua pun mencicipi kue ulang tahun Rindu. Memakan makanan yang sudah disiapkan Bi Inah yang telah bersekongkol dengan para sahabatnya dalam mempersiapkan pesta. Tak ada kesedihan terlihat diwajah Tindu. Hanya senyuman yang terpancar diwajahnya.
“ehem”. Kata Mita mengambil perhatian semuanya. Setelah semua menoleh padanya dia tersenyum dan berkata “Aku mau member tahu kalian tentang sesuatu. Karena aku menganggap kalian sudah seperti saudaraku sendiri aku nggak mau ada yang kita tutupi. Aku ingin member tahu tentang aku dan Rio”. Wajah Tya, Riana, Ara, Dira, Sasti dan Rindu terlihat bingung dan penasaran. Sebenarnya ada apa antara Mita dan Rio. “Aku dan Rio telah resmi pacaran”. Kata Mita akhirnya.
Rindu terkejut mendengar pengakuan Mita. Seperti disambar petir disiang hari. Pengakuan itu membuatnya tidak keruan. Sahabat-sahabatnya yang lain tidak masalah. Mereka senang-senang saja mendengar kabar tersebut dan member selamat pada Mita dan Rio. Tapi, dia. Dia tidak dapat menyembunyikan perasaannya sekarang. Dia tersenyum kaku pada Mita dan Rio pada saat mengucapkan selamat pada mereka. Setelah itu perlahan-lahan dia menjauh dan berbalik pergi meninggalkansahabat-sahabatnya.
Rindu terus berlari. Suara teriakan sahabat-sahabatnya yang memanggil namanya tidak ia hiraukan. Dia terus berlari keluar meninggalkan rumah. Berlari tanpa arah. Berlari mencoba membawa perasaan hancur yang sedang dirasakannya untuk berlari. Berlari meninggalkan hatinya. Dia berlari dan terus berlari, air mata telah menggenang dipelupuk matanya. Disekanya air mata itu. “aku tidak boleh menangis”. Ucapnya pada dirinya sendiri.
Dan dia masih terus berlari hingga lelah menghampirinya. Kecepatan kakinya melambat perlahan-lahan. Hingga dia benar-benar berhenti. Hanya berdiri. Terdiam terpaku ditempatnya berpijak. Nafasnya ngos-ngosan. Dadanya sesak. Air mata menggenang lagi, tapi disekanya lagi. Dia tidak ingin menangis. Setelah perasaannya sedikit tenang. Dia langkahkan kakinya ingin menyeberang. Tapi, dia tidak melihat bahwa ada mobil melaju kencang ke arahnya. Tiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnn suara klakson mobil itu mengagetkannya dan BRUK!
Seminggu kemudian. Dalam ruangan yang bernuansa putih. Tercium aroma khas jeruk. Aroma ruangan kesukaan Rindu. Tempat tidurnya terlihat rapi. meja belajarnya pun tertata rapi. ruangan yang sepi karena ditinggal pergi oleh penghuninya. Disentuhnya ujung meja belajar anaknya itu. Diayunkannya tangannya untuk merasakan kasarnya kulit meja yang terbuat dari kayu itu. Terlihat dalam bayangannya bahwa anaknya Rindu sedang menulis dimeja itu. Rindu menoleh menatapnya lalu tersenyum dan berkata “Mama”. Dia pun mengis tanpa bisa ditahannya. Betapa dia sangat merindukan Rindu. Kini dia merasakan bagaimana rasanya kesepian yang dirasakan Rindu selama ini. Kesepian karena ditinggal sendirian. Tak pernah merasakan kehangatan kasih sayang. “Maafkan mama Rindu”. Ucapnya lirih.
Di lapangnya rerumputan hijau. Terasa sejuk dengan hembusan angin yang menenangkan hati. Tya, Mita, Ara, Dira, Riana, dan Sasti berbaring di rerumputan itu. Mata mereka jauh menerawang ke atas awan. “Apa kabarmu disana Rindu?” kata Sasti memecah keheningan. “Rindu aku ingin cerita padamu”. Lanjut Tya. “Rindu ternyata hari-hari kami terasa tak sama jika tak ada kamu”. Kata Dira. “Rindu aku rindu ingin melihat senyumanmu’. Kata Ara. “Rindu apakah kamu tahu kami merindukanmu?”. Kata Riana. Air mata tergenang dipelupuk mata mereka. Tanpa bisa mereka tahan, air mata itu mengalir. “Rindu maafkan aku yang telah menyakiti hatimu. Maafkan aku yang telah mengecewakanmu. Rindu, kini apa yang harus ku lakukan agar dapat memintamu kembali berkumpul bersama kami lagi?”. Kata Mita dalam isak tangisnya. Mereka semua bangkit dan berpelukan bersama. Saling menghangatkan dan saling menguatkan satu sama lain.
Ternyata ketika Rindu tak lagi ada semua tak seindah sedia kala. Pertahankanlah apa yang dapat membuatmu bahagia. Jangan biarkan dia pergi meninggalkanmu. Genggamlah selalu kebahagiaan itu.

4 komentar:

yani anjani

kak chichi suka nulis cerpen ya?

Unknown

ga juga ko,, q sukanya nulis puisi soalnya lebih pendek dan penuh makna kalau cerpen kadang bingung nentukan alur ceritanya. jujur nie, ku nulis cerpen kalau diajakin ikut lomba aja hehe

Dinda

baguz kak cerita'y ...
ad lgy gk cerpen'y ?? hehehe ....
aq suka baca cerita iank ky bgini ...
memotivasi cerita'y !! :')

Unknown

makasih dinda, namanya sama seperti nama sahabatku :)
kalau mau baca cerpen2, pilih label yang cerpen aja, ntar semua cerpen.ku yang ku post muncul kok :)

makasih dah berkunjung

Posting Komentar